run teks

Biarpun Buruk Begini Blogkuini Berharap Bisa Bikin Betah Berselancar Bareng Bloger Brilyan Bumiputra dan Bloger Bule

Balai Bahasa

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Minggu, 08 April 2012

Sholat, Salat, Sholawat dan Selawat!


Ketika ada fesbuker mengajak untuk ber- sholawat dalam statusnya, saya berpikir untuk ambil peran dalam menjelaskan segala sesuatunya tentang hal ini. Bukannya saya merasa lebih pintar dari yang lain, tapi tergelitik saja untuk menuangkan ide agar jadi cara pandang dari sudut yang berbeda.
Pertama :  Tulisan yang benar menurut versi bahasa Indonesia. Ternyata setelah saya cek dalam KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia baik versi cetak maupun digitalnya kata sholawat tidak ditemukan. Yang ada adalah selawat. Ini artinya kata yang baku adalah selawat, bukan sholawat. Dengan demikian penggunaan yang dianjurkan adalah selawat .
Kedua : Kata selawat ini merupakan bentuk jamak ( plural) dari kata salat  bukan shalat( lihat KBBI),  yang berarti do’a. Dengan demikian bentuk yang benar menurut bahasa Indonesia adalah salat( tanpa huruf h) juga bukan( dengan huruf d), salad yang berarti selada (sayur).
Ketiga : Kata salat, yang dalam bahasa Arabnya : صلاة; transliterasi: Shalat, ternyata berasal dari kata “tselota” dalam bahasa Aram (Suriah) yaitu induk dari bahasa di Timur Tengah. Dan bagi umat Kristen Ortodoks Arab yaitu umat Kristen Ortodoks yang berada di MesirPalestina, Yordania, Libanon dan daerah Timur-Tengah lainnya menggunakan kata Tselota tadi dalam bentuk bahasa Arab Salat, sehingga doa “Bapa kami” oleh umat KristenOrtodoks Arab disebut sebagai Sholattul Rabbaniyah.
Dengan demikian “Salat” itu awalnya bukanlah datang dari umat Islam atau meminjam istilah Islam. Jauh sebelum agama Islam muncul, istilah Salat untuk menunaikan ibadah telah digunakan oleh umat Kristen Ortodoks Timur, tentu saja dalam penghayatan yang berbeda. (wikipedia).
Keempat : “Barang siapa yang bersholawat kepadaku (Muhammad) satu kali saja, maka aku akan bersholawat kepadanya sepuluh kali” Pernyataan hadist ini bisa dipandang dari dua sisi. Yang pertama bahwa kita, sebagai umat Muhammad menindaklanjuti dengan tanpa reserve atau tanpa syarat. Model awam, dengar lalu kerjakan apa adanya. Tanpa metode tambahan hanya peniruan belaka dari pengerjaan terdahulu. Try and Trial, usaha coba-coba. Yang kedua bahwa ini harus dikaji dulu baru diuji coba. Model ini sesungguhnya tampak pada usaha nyata untuk memahami dengan teliti lewat proses keilmuwan atau dengan metode tertentu lalu diujicobakan dalam pengerjaan amalan. Tidak semata-mata peniruan tanpa tahu sebab musabab makna dan tata caranya. Dasar kajian ini bahwa segala sesuatu akan lebih bermakna kalau dikerjakan dengan kesadaran penuh. Kesadaran penuh ini bisa dimiliki bila tahu metode aplikasinya. Bukankah sebuah metodelogi wajib hadir apalagi terhadap aplikasi ibadah yang menentukan nilai akhiratnya? Bayangkan untuk sebuah contoh kedunian saja bila dikerjakan tanpa metodelogi yang benar? Misal, mengendarai motor asal-asalan!
Kelima : 
AL-AHZAB : 56
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat untuk Nabi (1). Hai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (2).”
Kalau yang dimaksud membaca selawat untuk Nabi, memiliki maksud mendoakan atau memohonkan berkah kepada Allah swt untuk Nabi dengan ucapan, pernyataan serta pengharapan, semoga beliau (Nabi) sejahtera (beruntung, tak kurang suatu apapun, keadaannya tetap baik dan sehat), maka ini terasa mengganjal di logika. Bagaimana mungkin jaminan doa kita bisa menyejahterakan Nabi? Apa tidak kebalik nih? Tidakkah,  justru kita yang membutuhkan doa nabi, agar kita selamat? Bagaimana nih aplikasinya?
Saya teringat akan uraian  para ahli hikmah  bahwa 1) tanpa berselawat terhadap Muhammad ,doa kita diawang-awang (antara langit dan bumi/ alias tidak diterima) ,2) bersedekah ibaratnya menumpahruahkan susu dalam cangkir dengan beban yang kita taruh dalam susu itu. Semakin banyak beban semakin banyaklah yang tumpah ruah. Itulah yang bisa dinikmati. Maka banyak-banyaklah bersedekah. 3) sesungguhnya Gardu Induk Paiton dan Gardu Listrik Gilimanuk telah menyatu dengan PLN Singaraja , hai para neon satukanlah dirimu dengan PLN Singaraja , pasti nyala…..4) para neon tak mungkin bergabung begitu saja dengan PLN Singaraja, pasti ada caranya…inilah metedologi….sekian!( Wallohua’lam).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar