run teks

Biarpun Buruk Begini Blogkuini Berharap Bisa Bikin Betah Berselancar Bareng Bloger Brilyan Bumiputra dan Bloger Bule

Balai Bahasa

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 20 April 2012

Untung, Kartini Tidak Berjilbab


Tanpa Jilbab,khan?

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hinggaHamengkubuwana VI. Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.(http://www.sarkub.com).
Dari kilasan biografinya dan gambarnya jelas bahwa Gadis Kartini tidak  memakai kerudung atau jilbab,khan? Meski dari nenek moyangnya , Kartini sudah mengaku Islam namun Kartini merasa bahwa Islam itu agama yang menggalaukan hatinya di saat-saat kritis pikiran dan cara  pandanggannya. Kartini merasa  agama Islam yang dianutnya waktu itu terasa ekslusif dengan kitab suci yang sakral sehingga tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain, termasuk bahasa Jawa. Kartini merasa hal ini konyol sebab bagaimana mungkin dia membaca bacaan yang tidak tahu maknanya. Ditengah frustasinya, Kartini memandang bahwa  waktu itu beliau tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Beliau tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.Lebih jauh beliau berdoa : Ya, Tuhanku, ada kalanya aku berharap, alangkah baiknya jika tidak ada agama itu, karena agama itu, yang sebenarnya harus mempersatukan semua hamba Allah, sejak dari dahulu-dahulu menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, jadi sebab perkelahian berbunuh-bunuhan yang sangat ngeri dan bengisnya.
Hemm, sampai begini tentu jilbab adalah jauh panggang dari api. Bahkan dalam surat curhatnya Kartini kepada   Stella (teman Belanda)  cenderung membenarkan cara pandangnya yakni Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella? ( benar juga , sih ! - admin)
Justru inilah keuntungan Kartini tidak berjilbab :
  1. melestarikan adat istiadat jawa, yakni pakai kebaya dengan sanggul berkonde. Dengan demikian Islam bisa diterima pada kalangan bangsawan dan masyarakat Jawa tanpa harus mendiskusikan fikih aurat terlebih dahulu.
  2. Kartini menjadi sosok yang dipilih penguasa  Pemerintah kolonial Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia( http://www.wikimu.com ) . Hal ini terjadi karena sosok Kartini bersahabat dengan orang-orang Belanda, semacam J.H Abendanon,Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Belanda. Kartini menjadi sosok yang lebih disukai Belanda daripada tokoh-tokoh wanita lain Indonesia, semisal Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah. Cut Mutia, atau Cut Po Fatimah dari Aceh (padahal kiprahnya terhadap kemajuan pikiran wanita melebihi Kartini/ www.sejarah.kompasiana.com) .Tidak menutup kemungkinan  kekentalan religisitas menjadi pertimbangan strategis Belanda, yang Kristen dan berstigma negatif terhadap Islam. Kartini dianggap lebih modern dan wellcome terhadap budaya barat . Apalagi Kartini tidak mengibarkan bendera perang terhadap Belanda.  Yang pada akhirnya nanti diharapkan Kartini  menjadi  sekular  dan beragama Kristen sebagaimana kebanyakan kaum barat. Mudah dipengaruhi dan direkrut.
  3. Ternyata tidak dinyana dan disangka bahwa Kartini yang taat berbusana Jawanya (tidak berjilbab tapi bersanggul dan berkonde saja )  adalah seseorang yang gigih mempertahankan Tauhid : Iman, Islam dan ikhsannya. Beliau bertranformasi , ber-metamorfosa setelah berguru kepada  Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang . Guru spiritual yang melahirkan juga sosok Ulama terkenal Indonesia macam, KH. A.Dahlan (pendiri Muhamadiyah) dan  KH. Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama NU). Dalam surat Kartini kepada Ny Abendanon, tertanggal 27 Oktober 1902 :
    Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
    Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
    Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; 
    Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.
    Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;
    Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.


Minggu, 08 April 2012

Lady Gaga Lebih Mulia daripada Ketua MUI?


Ciluk....ba!

Bukan maksudnya melecehkan salah satu atau salah dua pihak. Namun itulah yang sedang disorot media bahwa konser Lady Gaga si artis Amerika pada bulan Juni mendatang telah diharamkan untuk ditonton publik Indonesia . Adalah Ketua MUI , Chalil Ridwan yang mengatakan itu. Siapa sangka hingar bingar pemberitaan ini akan menghasilkan kalimat-kalimat unik, misal :
1. Lady gaga(i) Ketua MUI, artinya Si Lady memanjat Ketua MUI dengan mendekap dan menumpukan kaki pada ….(KBBI digital)
2. Lady gaga(hi) Ketua MUI, arti gagahi adalah kiasan memperkosa, atau menguasai dengan kekerasan; memaksa….(KBBI digital)
3. Lady (lebih) gaga(h) (daripada) Ketua MUI, artinya ada 3 macam :
  • gagah = kuat; bertenaga
  • gagah = besar dan tegap serta kuat(tt badan)
  • gagah = tampak mulia;megah(KBBI digital)
tentang yang pertama bahwa si Lady lebih bertenaga is’t OK-lah karena bisa jadi ,perempuan badannya lebih bertenaga. Sedang yang kedua no problem-lah karena wajar si perempuan terkadang  lebih besar dan tegap daripada laki-laki. Tapi, yang ketiga ini lho! Jangan sampai betul terjadi bahwa Si Lady lebih tampak mulia daripada Ketua MUI. Nah, kita buktikan saja nanti saat konser Lady Gaga. Apakah fatwa haram dari Ketua MUI akan diamini ? Apakah calon penonton yang sudah terlanjur beli tiket akan tidak nonton? Apakah 40 ribuan tiket ludes terbeli itu akan dikembalikan  ke panitia? Kalau kenyataanya jawabannya TIDAK , dan penonton yang mungkin malah  kebanyakan anak muda Islam tetap melototi konser, maka benarlah bahwa Lady Gaga lebih gagah daripada Ketua MUI. Namun bila jawabannya YA, maka Ketua MUI lebih gagah daripada Lady Gaga. He…he….kita tunggu aja…..Hemmmm ada…ada saja!

Sholat, Salat, Sholawat dan Selawat!


Ketika ada fesbuker mengajak untuk ber- sholawat dalam statusnya, saya berpikir untuk ambil peran dalam menjelaskan segala sesuatunya tentang hal ini. Bukannya saya merasa lebih pintar dari yang lain, tapi tergelitik saja untuk menuangkan ide agar jadi cara pandang dari sudut yang berbeda.
Pertama :  Tulisan yang benar menurut versi bahasa Indonesia. Ternyata setelah saya cek dalam KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia baik versi cetak maupun digitalnya kata sholawat tidak ditemukan. Yang ada adalah selawat. Ini artinya kata yang baku adalah selawat, bukan sholawat. Dengan demikian penggunaan yang dianjurkan adalah selawat .
Kedua : Kata selawat ini merupakan bentuk jamak ( plural) dari kata salat  bukan shalat( lihat KBBI),  yang berarti do’a. Dengan demikian bentuk yang benar menurut bahasa Indonesia adalah salat( tanpa huruf h) juga bukan( dengan huruf d), salad yang berarti selada (sayur).
Ketiga : Kata salat, yang dalam bahasa Arabnya : صلاة; transliterasi: Shalat, ternyata berasal dari kata “tselota” dalam bahasa Aram (Suriah) yaitu induk dari bahasa di Timur Tengah. Dan bagi umat Kristen Ortodoks Arab yaitu umat Kristen Ortodoks yang berada di MesirPalestina, Yordania, Libanon dan daerah Timur-Tengah lainnya menggunakan kata Tselota tadi dalam bentuk bahasa Arab Salat, sehingga doa “Bapa kami” oleh umat KristenOrtodoks Arab disebut sebagai Sholattul Rabbaniyah.
Dengan demikian “Salat” itu awalnya bukanlah datang dari umat Islam atau meminjam istilah Islam. Jauh sebelum agama Islam muncul, istilah Salat untuk menunaikan ibadah telah digunakan oleh umat Kristen Ortodoks Timur, tentu saja dalam penghayatan yang berbeda. (wikipedia).
Keempat : “Barang siapa yang bersholawat kepadaku (Muhammad) satu kali saja, maka aku akan bersholawat kepadanya sepuluh kali” Pernyataan hadist ini bisa dipandang dari dua sisi. Yang pertama bahwa kita, sebagai umat Muhammad menindaklanjuti dengan tanpa reserve atau tanpa syarat. Model awam, dengar lalu kerjakan apa adanya. Tanpa metode tambahan hanya peniruan belaka dari pengerjaan terdahulu. Try and Trial, usaha coba-coba. Yang kedua bahwa ini harus dikaji dulu baru diuji coba. Model ini sesungguhnya tampak pada usaha nyata untuk memahami dengan teliti lewat proses keilmuwan atau dengan metode tertentu lalu diujicobakan dalam pengerjaan amalan. Tidak semata-mata peniruan tanpa tahu sebab musabab makna dan tata caranya. Dasar kajian ini bahwa segala sesuatu akan lebih bermakna kalau dikerjakan dengan kesadaran penuh. Kesadaran penuh ini bisa dimiliki bila tahu metode aplikasinya. Bukankah sebuah metodelogi wajib hadir apalagi terhadap aplikasi ibadah yang menentukan nilai akhiratnya? Bayangkan untuk sebuah contoh kedunian saja bila dikerjakan tanpa metodelogi yang benar? Misal, mengendarai motor asal-asalan!
Kelima : 
AL-AHZAB : 56
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat untuk Nabi (1). Hai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (2).”
Kalau yang dimaksud membaca selawat untuk Nabi, memiliki maksud mendoakan atau memohonkan berkah kepada Allah swt untuk Nabi dengan ucapan, pernyataan serta pengharapan, semoga beliau (Nabi) sejahtera (beruntung, tak kurang suatu apapun, keadaannya tetap baik dan sehat), maka ini terasa mengganjal di logika. Bagaimana mungkin jaminan doa kita bisa menyejahterakan Nabi? Apa tidak kebalik nih? Tidakkah,  justru kita yang membutuhkan doa nabi, agar kita selamat? Bagaimana nih aplikasinya?
Saya teringat akan uraian  para ahli hikmah  bahwa 1) tanpa berselawat terhadap Muhammad ,doa kita diawang-awang (antara langit dan bumi/ alias tidak diterima) ,2) bersedekah ibaratnya menumpahruahkan susu dalam cangkir dengan beban yang kita taruh dalam susu itu. Semakin banyak beban semakin banyaklah yang tumpah ruah. Itulah yang bisa dinikmati. Maka banyak-banyaklah bersedekah. 3) sesungguhnya Gardu Induk Paiton dan Gardu Listrik Gilimanuk telah menyatu dengan PLN Singaraja , hai para neon satukanlah dirimu dengan PLN Singaraja , pasti nyala…..4) para neon tak mungkin bergabung begitu saja dengan PLN Singaraja, pasti ada caranya…inilah metedologi….sekian!( Wallohua’lam).